Jumat, 18 November 2011

Surat Dinda

Sudah lama Chaca dan Dinda berteman akrab, kemana-mana selalu bersama, di kelas juga duduk sebangku. Mereka mulai dekat ketika naik ke kelas dua sekolah dasar. Kala itu teman yang dekat dengan Dinda pindah sekolah karena suatu alasan. Hingga akhirnya, Bu Guru menempatkan dua bocah itu sebangku, tepatnya duduk di bagian depan karena Chaca memakai kacamata dan sebelah Dinda juga masih kosong, karena terbiasa berdua keakraban pun terjalin tapi entah mengapa tiba-tiba mereka terlihat seperti sedang bermusuhan, kini Dinda sering bersama dengan Uni, teman sekelasnya yang sekaligus tetangga depan rumah. Peristiwa ini tentu menimbulkan pertanyaan dari teman-teman mereka.
“Cha, kamu kok nggak pernah jalan sama Dinda lagi sih, sekarang malah seringan sama Uni?” tanya Fanny penuh selidik. Kalian lagi ada masalah yah?” sambungnya lagi
“Enggak kok, kebetulan Uni kan sekelompok sama aku untuk tugas prakarya, jadi kita memang harus sering sama-sama buat ngebahas, iya kan Ni?” jawab Chaca seperti terlihat sedang berbohong
“Oh, iya, iya” Uni mengiyakan
“Ah, masa sih, tapi kalau aku lihat sekarang, kalian juga jarang ngobrol dan bercanda bareng, padahal kan sebangku, emangnya enak diem-dieman terus?” Fanny belum puas dengan jawaban Chaca dan masih memberondonginya dengan pertanyaan yang membuat kuping Chaca panas.
“Ih, kamu tuh tanya apa ngotot sih Fan, terserah kamu deh mau bilang apa!” Chaca akhirnya merasa kesal dengan pertanyaan Fanny yang tiada hentinya. Ditinggalkannya Fanny yang masih menungu jawaban Chaca.
“Idih…marah nih ye” sindir Fanny tak ada habisnya.
“Ah, Tanya Dinda aja, Chaca gak asik nih” sambung Fanny.
Dinda sedang asik membaca buku cerita tatkala suara cempreng Fanny memecah konsentrasinya.
“Hai Din” Sapa Fanny centil
“Hai” jawab Dinda malas.
“Rajin amat sih”
“Iya nih daripada nggak ada kerjaan” jawab Dinda.
“Boleh duduk di sini nggak?”
“Boleh aja, jawab Dinda tanpa menoleh. Sebenarnya Dinda tidak terlalu suka dengan kedatangan Fanny karena ia tahu pasti kerjanya hanya memanas-manasi Dinda. Tapi apa boleh buat anak yang centil, cerewet dan suka mengadu itu sudah duduk di sampingnya ia tak tega menyuruhnya pergi.
“Diem aja sih Din, Chaca kemana? biasanya kalian kemana-mana selalu berdua, ke kantin, perpus, bahkan ke kamar mandi aja bareng hi….” Tanya si biang kerok gak ada habis-habisnya.
“Chaca ke kantin kali”
“Kok kamu nggak ikut”
“Nggak laper”
“Eh iya, sekarang Chaca sering jalan bareng sama Uni loh, mereka kayaknya akrab banget. Apalagi rumah mereka deketan. Uh makin akrab aja tuh, jahat banget yah Chaca masak dengan mudahnya ngelupain kamu sih”
Muka Dinda mulai memerah ia tidak konsentrasi dengan buku yang dibacanya. Emosinya hampir meledak namun berhasil ditahannya.
“Ya nggak apa-apa dong, orang kan pengen juga berteman sama yang lain, emang nggak boleh?”
“Tapi memangnya kamu nggak iri dengan keakraban mereka?
“Ya enggaklah… ngapain iri”
“Emangnya kamu……..”
Teeeeeeeeeeeeeeeeeeeet. Tiba-tiba bel berbunyi sebelum Fanny sempat menyelesaikan pertanyaannya. Dinda merasa lega karena anak bawel itu kembali ke bangkunya dengan bersungut-sungut. Ia tidak berhasil mengulik berita dari Dinda. Cacha kembali ke tempat duduknya. Mereka tidak saling menyapa. Entah masalah apa yang membuat mereka tidak berkomunikasi seperti biasanya. Sebenarnya keadaan seperti ini sangat menyiksa mereka berdua. Mereka rindu saat-saat seperti dulu ketika berbagi suka dan duka bersama-sama.
***
Hingga akhirnya sebuah surat ditulis Dinda untuk Chaca.
Untuk :
Chaca
sahabatku
Sudah lama kita selalu bersama dalam keadaan sedih ataupun senang. Tapi kini kita seperti tidak saling mengenal lagi.. aku sangat sedih Cha. Tapi harus kuakui bahwa akulah penyebab semua ini. Aku tahu kamu sangat tersinggung atas perkataanku kemarin, tidak seharusnya aku meremehkan kemampuanmu. Kamu berhak mendapatkan nilai 10 itu. Maafkan aku yang menuduhmu mencontek tugas itu. Aku hanya iri saja kepadamu. Harusnya aku bisa berlapang dada dan mendukungmu. Sekali lagi aku minta maaf Cha. Aku ingin kita seperti dulu lagi.

Dinda
Sahabatmu
Chaca menitikkan air mata membaca surat dari Dinda. Ia pun ingin bersahabat lagi seperti dulu. Ia tidak ingin bermusuhan hanya karena hal sepele. Sudah waktunya aku memaafkan kesalahan Dinda batinnya. Keesokan harinya Chaca membawakan Dinda sebatang coklat sebagai tanda persahabatannya kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar