Jumat, 18 November 2011

Ula-ula

Aku dan Esha punya kegiatan yang menyenangkan, yaitu memelihara kura-kura. Hmm….kura-kura kami masih kecil, dia lucu sekali loh. Apalagi Esha, adik semata wayangku itu lebih menyayangi kura-kuranya daripada aku, tapi kerjanya hanya bisa memberi makan kura-kura karena umurnya baru dua tahun. Maka menjadi tugaskulah yang membersihkan akuarium dan mengganti airnya walaupun begitu aku senang karena bisa melihat adikku selalu ceria.
“Kakak, kakak ula-ulanya diberi nama apa? tanya Esha yang masih cadel saat kami sedang bermain dengan kura-kura.
“Mmm...kasih nama apa yah....” aku berpikir sejenak.
“Aha...kita beri nama ula-ula aja, kelihatannya lucu juga”
“Ula-ula, yeeee!!!” adikku bersorak-sorak girang.
“Wulan!!!!” tiba-tiba ibu memanggilku dari dapur
“Iya, Bu” jawabku
“Adek ajak kesini, waktunya maem”
“Sha, ma’em dulu yuk, nanti maen sama ula-ula lagi. Ula-ulanya juga biar maem dulu” rayuku pada Esha.
“He’em” jawabnya sambil mengikutiku.

Semenjak ada Ula-ula Esha jarang menangis. Ia betah sekali bermain dengan Ula-ula walau cuma mengobok-obok airnya saja tapi setidaknya dengan adanya Ula-ula, pekerjaanku menjaganya juga lebih ringan. Tinggal didudukkan dekat Ula-ula, ia sudah diam dan tidak rewel, terkadang aku malah iseng dan pergi main sendiri, yang penting saat ibu pulang dari pasar, aku tetap berada di samping Esha, he....he curang ya aku. Ah...biarkan saja, lama-lama aku sendiri yang bosan dengan Ula-ula, bagaimanapun juga Ula-ula tetap kurawat demi adikku.
***
Ula-ula kami semakin besar saja. Adikku semakin betah bernain dengannya. Hingga kadang ia susah diajak makan dan mandi, bahkan terkadang ibu jengkel dan sempat menyuruhku memindahkan Ula-ula di kolam belakang rumah. Tapi aku kasihan dengan Esha jika ia harus berpisah dengan Ula-ulanya. Pada akhirnya ibu mengerti juga. Selanjutnya kami berpikir dan mencari cara yang tepat agar Esha tidak kecanduan bermain dengan Ula-ula. Namun belum sempat kami menemukan cara yang tepat, adikku itu sudah berhenti bermain dengan ula-ula. Ada apakah gerangan??? Maka seperti inilah kejadiannya.
Di suatu pagi di hari minggu, ibu menyuruhku menjaga Esha sebentar. Padahal pagi itu aku sudah janjian untuk bermain bersama teman-teman di kompleks. Demi teman-temanku, seperti biasa aku meninggalkan Esha bermain dengan Ula-ula karena aku tahu kalau sudah bersama Ula-ula dia tidak akan pergi kemana-mana. Maka kutinggalkanlah Esha dengan Ula-ulanya. Namun betapa kagetnya aku ketika pulang kerumah, kudapati ibu sedang berdiri di depan pintu sambil menggendong Esha. Padahal aku sudah berniat pulang sebelum ibu tiba di rumah. Ternyata ibu lebih cepat dari yang kuperkirakan.
“Habis darimana saja Wulan?” tanya ibu dengan nada agak jengkel.
“Habis main Bu”
“Bukankah ibu tadi menyuruhmu menjaga adik?”
“Iya, maaf Bu” kataku sambil tertunduk.
“Sekarang lihatlah apa yang terjadi dengan adikmu, bibirnya habis digigit Ula-ula kesayangannya itu”
Kulihat adikku, bibirnya agak bengkak, sebenarnya aku ingin tertawa, tapi aku tahan karena kasihan juga melihat adikku. Hmm...mengapa kejadiannya bisa seperti ini. Aku jadi menyesal meninggalkannya tadi.
“Ula-ula nakal” kata adikku sambil menunjuk ke arah akuarium. Ia masih sesenggukan.
“Ya sudah, nanti ula-ulanya masukin kolam aja yah, nanti mbak ganti sama ikan mas koki, yang nggak nakal” hiburku. Adikku sedikit tertawa
. Akhirnya semenjak kejadian itu adikku tidak bermain dengan ula-ula lagi dan sekarang ia menurut jika diajak makan dan mandi. Akuarium itu kini kuisi dengan ikan mas koki berwarna-warni. Aih.... lucunya, Esha pun kembali ceria.

Surat Dinda

Sudah lama Chaca dan Dinda berteman akrab, kemana-mana selalu bersama, di kelas juga duduk sebangku. Mereka mulai dekat ketika naik ke kelas dua sekolah dasar. Kala itu teman yang dekat dengan Dinda pindah sekolah karena suatu alasan. Hingga akhirnya, Bu Guru menempatkan dua bocah itu sebangku, tepatnya duduk di bagian depan karena Chaca memakai kacamata dan sebelah Dinda juga masih kosong, karena terbiasa berdua keakraban pun terjalin tapi entah mengapa tiba-tiba mereka terlihat seperti sedang bermusuhan, kini Dinda sering bersama dengan Uni, teman sekelasnya yang sekaligus tetangga depan rumah. Peristiwa ini tentu menimbulkan pertanyaan dari teman-teman mereka.
“Cha, kamu kok nggak pernah jalan sama Dinda lagi sih, sekarang malah seringan sama Uni?” tanya Fanny penuh selidik. Kalian lagi ada masalah yah?” sambungnya lagi
“Enggak kok, kebetulan Uni kan sekelompok sama aku untuk tugas prakarya, jadi kita memang harus sering sama-sama buat ngebahas, iya kan Ni?” jawab Chaca seperti terlihat sedang berbohong
“Oh, iya, iya” Uni mengiyakan
“Ah, masa sih, tapi kalau aku lihat sekarang, kalian juga jarang ngobrol dan bercanda bareng, padahal kan sebangku, emangnya enak diem-dieman terus?” Fanny belum puas dengan jawaban Chaca dan masih memberondonginya dengan pertanyaan yang membuat kuping Chaca panas.
“Ih, kamu tuh tanya apa ngotot sih Fan, terserah kamu deh mau bilang apa!” Chaca akhirnya merasa kesal dengan pertanyaan Fanny yang tiada hentinya. Ditinggalkannya Fanny yang masih menungu jawaban Chaca.
“Idih…marah nih ye” sindir Fanny tak ada habisnya.
“Ah, Tanya Dinda aja, Chaca gak asik nih” sambung Fanny.
Dinda sedang asik membaca buku cerita tatkala suara cempreng Fanny memecah konsentrasinya.
“Hai Din” Sapa Fanny centil
“Hai” jawab Dinda malas.
“Rajin amat sih”
“Iya nih daripada nggak ada kerjaan” jawab Dinda.
“Boleh duduk di sini nggak?”
“Boleh aja, jawab Dinda tanpa menoleh. Sebenarnya Dinda tidak terlalu suka dengan kedatangan Fanny karena ia tahu pasti kerjanya hanya memanas-manasi Dinda. Tapi apa boleh buat anak yang centil, cerewet dan suka mengadu itu sudah duduk di sampingnya ia tak tega menyuruhnya pergi.
“Diem aja sih Din, Chaca kemana? biasanya kalian kemana-mana selalu berdua, ke kantin, perpus, bahkan ke kamar mandi aja bareng hi….” Tanya si biang kerok gak ada habis-habisnya.
“Chaca ke kantin kali”
“Kok kamu nggak ikut”
“Nggak laper”
“Eh iya, sekarang Chaca sering jalan bareng sama Uni loh, mereka kayaknya akrab banget. Apalagi rumah mereka deketan. Uh makin akrab aja tuh, jahat banget yah Chaca masak dengan mudahnya ngelupain kamu sih”
Muka Dinda mulai memerah ia tidak konsentrasi dengan buku yang dibacanya. Emosinya hampir meledak namun berhasil ditahannya.
“Ya nggak apa-apa dong, orang kan pengen juga berteman sama yang lain, emang nggak boleh?”
“Tapi memangnya kamu nggak iri dengan keakraban mereka?
“Ya enggaklah… ngapain iri”
“Emangnya kamu……..”
Teeeeeeeeeeeeeeeeeeeet. Tiba-tiba bel berbunyi sebelum Fanny sempat menyelesaikan pertanyaannya. Dinda merasa lega karena anak bawel itu kembali ke bangkunya dengan bersungut-sungut. Ia tidak berhasil mengulik berita dari Dinda. Cacha kembali ke tempat duduknya. Mereka tidak saling menyapa. Entah masalah apa yang membuat mereka tidak berkomunikasi seperti biasanya. Sebenarnya keadaan seperti ini sangat menyiksa mereka berdua. Mereka rindu saat-saat seperti dulu ketika berbagi suka dan duka bersama-sama.
***
Hingga akhirnya sebuah surat ditulis Dinda untuk Chaca.
Untuk :
Chaca
sahabatku
Sudah lama kita selalu bersama dalam keadaan sedih ataupun senang. Tapi kini kita seperti tidak saling mengenal lagi.. aku sangat sedih Cha. Tapi harus kuakui bahwa akulah penyebab semua ini. Aku tahu kamu sangat tersinggung atas perkataanku kemarin, tidak seharusnya aku meremehkan kemampuanmu. Kamu berhak mendapatkan nilai 10 itu. Maafkan aku yang menuduhmu mencontek tugas itu. Aku hanya iri saja kepadamu. Harusnya aku bisa berlapang dada dan mendukungmu. Sekali lagi aku minta maaf Cha. Aku ingin kita seperti dulu lagi.

Dinda
Sahabatmu
Chaca menitikkan air mata membaca surat dari Dinda. Ia pun ingin bersahabat lagi seperti dulu. Ia tidak ingin bermusuhan hanya karena hal sepele. Sudah waktunya aku memaafkan kesalahan Dinda batinnya. Keesokan harinya Chaca membawakan Dinda sebatang coklat sebagai tanda persahabatannya kembali.